Minggu, 12 Maret 2017

kendala pembibitan kambing


Selama ini, pembibitan kambing di Indonesia dilakukan oleh peternakan kambing rakyat yang dikelola secara tradisional. Satu orang peternak rata-rata hanya memiliki 2—3 ekor induk kambing. Pemeliharaannya pun dilakukan dengan memanfaatkan waktu luang sehabis bekerja di sawah atau ladang. Pakannya berupa rumput, limbah pertanian, dan daun-daunan berasal dari sekitar lingkungan peternak yang dibawa setelah pulang dari sawah/ladang.

Lokasi kandang usaha pembibitan kambing juga berada di sekitar rumah supaya dapat diberi pakan sewaktu-waktu. Kondisi ini sudah menjadi budaya dalam beternak kambing. Selain itu, terdapat pola usaha kambing berupa gaduh. Artinya, pemilik kambing hanya menitipkan kambing kepada peternak peng-gaduh untuk memelihara sehingga tidak perlu keluar biaya pakan dan pemeliharaan lainnya. Peternak peng-gaduh akan menerima bayaran dari bagi hasil anakan dengan perbandingan 50 : 50. Usaha ini akan sulit dikembangkan menjadi usaha komersial karena tidak rasional. Pola usaha gaduh identik dengan usaha sambilan yang tidak sesuai dengan pola usaha komersial yang membutuhkan keseriusan. Dengan demikian, sulit mengharapkan peningkatan produktivitas atau populasi kambing dari pola ini.

Umumnya peternak tradisional membeli satu atau dua ekor induk kambing yang sudah siap kawin. Jika peternak tidak punya pejantan, pemacekan menggunakan kambing jantan milik tetangga. Namun, banyak peternak sengaja tidak mengawinkan kambing betinanya. Menurut mereka, kambing akan bunting dengan sendirinya. Padahal, ternak-ternak itu sudah kawin dengan pejantan sebelum dibeli sehingga dapat bunting.

Peternak tradisional akan memelihara kambing sampai ukuran siap jual, kira-kira umur satu tahun (kambing bakalan). Harganya bervariasi. Jika keturunan kambing kacang, harga bakalan jantan sekitar Rp600.000,00—800.000,00, sedangkan harga betina lebih rendah lagi. Namun, jika keturunan PE, harga bakalannya bisa mencapai Rp1.000.000,00 untuk jantan. Penghasilan yang didapat peternak tergantung jumlah kambing yang dipelihara. Sebagai gambaran, seorang peternak yang memelihara 2 ekor kambing betina dalam setahun paling banyak mendapat anakan sebanyak 3 ekor. Jika anakan dijual semua dengan harga maksimal Rp800.000,00 per ekor, peternak akan memperoleh Rp2.400.000,00 per tahun atau Rp200.000,00 per bulan atau kurang dari Rp7.000,000 per hari.
Penghasilan itu bukan suatu keuntungan, tetapi upah tenaga mencari rumput. Waktu penjualan kambing oleh peternak tradisional beragam. Umumnya, penjualan dilakukan saat ada kebutuhan mendesak, misalnya membayar sekolah, membiayai anggota keluarga di rumah sakit, memperbaiki rumah, atau menyelesaikan urusan keluarganya yang ditahan polisi. Ada juga yang sengaja menjual kambing saat Idul Adha karena harga jual mahal. Bahkan, ada juga peternak yang menjual semua kambingnya dan kesulitan untuk membeli kambing kembali Kambing dijual kepada para tengkulak yang ada di sekitar tempat tinggal. Tengkulak ini sebagai pedagang perantara yang menghubungkan peternak kambing dengan pedagang yang mempunyai modal atau konsumen.
Sistem jual-beli kambing ini terhitung unik karena banyak orang yang terlibat dalam proses pembelian 1 ekor kambing. Setiap yang terlibat akan mendapatkan bagian uang yang di dalam dunia pemasaran kambing dikenal dengan istilah “uang dengar”. Sistem pemasaran ini merugikan peternak kambing tradisional. Selain itu, sistem pemasaran pada peternakan kambing tradisional menempatkan peternak pada posisi yang lemah karena peternak tidak tahu informasi harga dan terdesak kebutuhan sehingga sering bersikap “yang penting laku dan cepat mendapatkan uang”. Sikap ini menjadikan posisi tawar peternak kambing lemah.